Minggu, September 06, 2009

Memoar at Stasioen Toegoe -II-

Karena percaya diri yang tinggi, atau memang ingin tampil beda lelaki ber-lipenstick biru tua pemetik ‘SITER’ [sejenis alat musik kecapi tradisional jawa], menembangkan ‘Sinom’ [langgam jawa berkisah asmara] sambil duduk bersimpuh. Dengan celana jeans belel yang sedikit diplorotkan [mungkin agar kelihatan tonjolan pantatnya], beraksilah laksana sang bintang laut kidoel. Benar-benar sangat menghibur pengunjung yang saat itu (25 Juli XX) juga sangat padat. Kemudian setelah ‘concert’ tersebut usai, tanpa dikomando mendadak seluruh musician menyebar serentak ke posisi masing-masing sembari menghunuskan topi laken kumal yang dilipat seperti sejenis senjata tajam. "Luaar binasaaa ini kelompok penghibur" Gumam ku. Lalu sambil senyum [di bikin] tulus mereka menyodorkan topi laken yang dibalik, mengharapkan [setengah memelas] keikhlasan dari pengunjung yang terhibur kala itu. “Duaaaan…tjoeeeeek” Teriak temanku tiba-tiba dan hampir membuat gelas air minumku pecah. “Loooh, mas yang doeloe mau nolong saya itu khan?” Tanya sang bintang pada temanku dengan muka setengah kaget [meski kelihatan pura-pura]. Dan akhirnya kami serempak tertawa bersama mengenang peristiwa waktu itu meski ada miris peristiwa itu. “Walaaaah, maaf kang….siapa nama panjenengan?” Tanya balik temanku pada sang bintang dengan masih tertawa. “My Name is Khoelitan Ketjil” Jawab sang bintang sambil berdiri tegak dengan suara yang sangat lantang tetap dengan kepedean yang sama seperti saat kami tolong dulu. Sebentar kemudian terjadi percakapan tentang kejadian gempa Bantul waktu itu dan bagaimana setelahnya. Tak lupa sang bintang menceritakan bagaimana kegiatannya setelah peristiwa itu sampai dengan kegiatannya menjadi Artis di Meja Perjamuan Tak Pernah Mati terpanjang di Kawasan Stasiun Toegoe ini. “Kang, kang maaf kami ga punya uang ketjil nih” Potongku pada sang bintang sembari mencoba ikut ngobrol. “Oh, mau pecahan berapa puluh ribu mas?” Tanya sang bintang pada kami. Lalu sang bintang mengeluarkan setumpuk pecahan seribu rupiah dari balik bajunya. Dengan cepat dia langsung duduk ikut menggerombol bersama kami di warung lesehan stasiun tugu ini. Kemudian dibeberkannya lembaran uang kertas ribuan sedikit basah tercampur keringat tangan dan gemerincing suara koin lima ratusan pun tak mau ikut kalah memajangkan diri di hadapan kami. “Berapa mas butuhnya” Tanya sang bintang pada kami. “Seratus ribu kang” Kata temanku. “Oooh……[hening sejenak]…….ADA MAS!” Jawab sang bintang selalu dengan setengah teriak semangat. “Busyeeet ini orang apa orang, bicara yang wajar kan bisa kenapa sih harus teriak-teriak” Kataku berbisik pada teman. Lalu mulailah sang bintang berhitung dengan tenang "SIJI LORO TELU PAPAT LIMO ENEM PITU…lalu ditumpuk setiap berjumlah 20 lembar. Genap 5 tumpukan lalu sang bintang mengeluarkan benda berbentuk Sirip Hiu dari balik pingangnya. Kemudian dipencetnya tombol-tombol disitu dengan mimik serius muka tirus, begitu merasa selesai diletakkannya kembali benda itu dan tangannya kembali menuju lembaran seribuan yang sudah dihitungnya tersebut. Setelah yakin menghitung ulang tumpukan dan lembaran tersebut [kalau tidak salah 6 kali], kemudian sang bintang menyodorkan uang tersebut padaku. "Terima kasih..loh…kang kok kurang tujuh belas ribu lima ratus rupiah” Tanyaku sembari menyodorkan kembali ribuan ditanganku. “Hehehe...itu setelah saya potong biaya admin sebesar 10% plus discount tarif manggung tadi, jadinya total tujuh belas ribu lima ratus rupiah” Jawab sang bintang enteng. “Ooooooooh “ serentak kami berdua mengangguk mengiyakan saja dengan senyum yang kecut tentunya. [Bersambung] Stanis and Kika.

Tidak ada komentar: