Senin, Juni 22, 2009

"Memoar at Stasiun Toegoe"

Pada sebuah malam, pasca gempa di Wilajah Propensi Bhantoel, Kota Pathoke, Kecamatan Gunung Khidoel. Saat sedang membersihkan puing-puing sisa penyerangan gempa beberapa hari yang lalu, mendadak ada pangilan darurat dari rekanan meminta bantuan ekstra besar di lokasi kota Semhine. “Mak ya, mak ya…segera kontak kemari……dibutuhkan tenaga–tenaga ekstra”. Lalu saya pun menjawab panggilan tersebut “Ya, diterima…tenaga siap satu gerobak” Melajulah saya berserta teman sesama ahli bangunan ‘teknologi sipil’ yang sangat ektrim produktifitas [namanya saja kuli batu]. Sesampainya disana, ternyata ditemukan salah satu korban yang terkurung oleh reruntuhan bangunan, hanya ada satu celah dan sepertinya cukup utk dilewati seseorang yang berpostur kecil. “Broer, ente bisa coba masuk melalui celah itu ?” Tanya saya pada teman satu tiem. “Oh, bisa man !” jawab teman saya semangat. Segulung tali tambang untuk layar perahu pun. kami julurkan ke bawah dan dengan sigapnya pula teman saya meluncur turun ke bawah lokasi tersebut. Ternyata ada seorang lelaki dewasa yang terjebak dalam reruntuhan tersebut. Disampingnya ada sebakul nasi lengkap dengan lauk pauknya. “Kawan, anda tidak apa-apa ?” Tanya teman saya pada lelaki tersebut “Ga apa apa kok mas, aku sembunyi dibawah meja saat dateng serangan gempa waktu itu” Tawab lelaki itu pada teman saya. “lalu dari mana nasi sebakul dan lauk pauk itu asalnya ?” Tanya teman saya lagi. “Oh, ini mas….nasi dan lauk pauknya, aku dapatkan dari sana” Jawab sang lelaki. Teman saya menengok. “Haaaaaah…duan tjuuuuk !” Teriak teman saya dengan suara sampai terdengar keluar. Saya yang di atas mau tidak mau penasaran dan berteriak keras untuk bertanya "Kenapa Bro?", "Ntar saja ceritanya setelah di atas", Jawab teman saya yang di bawah tak kalah keras. Selang beberapa saat, keluarlah teman saya beserta lelaki dewasa yang berdandan sensual. Ternyata di balik tripleks tersebut terdapat sebuah dapur dengan ukuran luas mirip dapur umum. Sungguh sebuah persiapan yang sangat hebat, begitu terjadi serangan gempa lelaki ini langsung sigap mengamankan perbekalan makan yang mungkin disiapkannya untuk seminggu ke depan. Dan sungguh seorang lelaki yang sangat memanjakan diri untuk urusan makanan, terbukti dengan mendirikan ruang dapur khusus di balik kamarnya. Hingga kini saya masih ingat akan sosok seorang lelaki dengan rambut panjangnya itu. Begitu pula dengan teman saya yang menamakannya lelaki cantik. Bukan tanpa sebab teman saya menyebutnya begitu, karena saat itu selain berkutat di dapur, lelaki ini juga suka akan olesan lipstick biru gelap dibibirnya itu. “Gaya gothic dan sensual” kata lelaki cantik kala itu. Sungguh lelaki yang sensual, terbukti meski terkena gempa pun keperluan pribadinya masih banyak yang utuh. Tidak hanya makanan, wewangian juga masih terlihat utuh. Kini sejak beberapa tahun kemudian, kami berdua bernostalgila di resto bintang tujuh depan ‘stasiun tugu’ dengan master ‘sego meong’ monsinyuer ‘le k mante’ dari sebuah kota di Paris [parangtritis]. Disaat kami sedang asyiik menikmati suguhan nasi putih dengan irisan tuna bakarnya, sembari menyeruput teh kental ala ‘inep’ mendadak kami dikagetkan akan kehadiran sesosok lelaki berambut panjang dengan rombongan orchestra ala malboro light [bergaya koboi malioboro]. Dandanannya lebih macho dengan ikat pinggang kulit besar dan tonjolan HP ‘sirip hiu’, plus lipstick biru tuanya. [Bersambung] Stanis and Kika.